Aku Ingin Seperti Mereka
Suasana kota Jakarta yang penuh dengan keramaian serta kemacetan ini membuatku semakin berpeluang untuk mendapatkan banyak kesempatan.
Aku tidak seperti anak-anak seusiaku. Usia 14 tahun. Saat usia 14 tahun seperti ini, anak-anak seusiaku pasti tidak melakukan hal seperti yang aku lakukan saat ini. Melainkan berangkat ke sekolah diantar orangtua mereka masing-masing. Sedangkan aku, pagi-pagi seperti ini, harus bangun pagi melawan rasa malas, pergi ke luar rumah, berada di sekitar kemacetan, dan bernyanyi sambil membawa gitar. Mengamen.
Terkadang terbersit rasa keinginanku untuk bisa melanjutkan sekolah di bangku SMP kelas sembilan. Tapi sayangnya, tak ada biaya untuk semua itu. Maklum, dua tahun silam kedua orangtuaku mengalami kecelakaan yang sangat tragis saat hendak berangkat ke tempat bekerjanya. Dulu kedua orangtuaku bekerja di salah satu orang terkaya di wilayahku, namanya bapak Suwandi. Karena pak Suwandi orang kaya, setiap bulannya kedua orangtuaku digaji sebesar lima juta perbulan. Dengan biaya yang lumayan besar itu, aku dapat bersekolah dan fasilitasku tercukupi. Tapi sayangnya, karena kedua orangtuaku mengalami kecelakaan hingga meninggal dunia, aku tak dapat melanjutkan sekolah. Putus di bangku SMP kelas tujuh. Karena itulah, aku harus memulai hidup mandiri, hidup apa adanya. Mengamen adalah hal yang hanya dapat aku lakukan pada saat itu dan sampai sekarang. Tak ada orang yang mau menerima aku untuk bekerja. Karena aku masih kecil. Sedangkan pak Suwandi, pindah ke luar kota. Sedangkan ayah dan ibuku tak mengetahui siapa saudaranya, karena dulu ayah dan ibuku sama-sama hidup di panti asuhan.
Aku tidak seperti anak-anak seusiaku. Usia 14 tahun. Saat usia 14 tahun seperti ini, anak-anak seusiaku pasti tidak melakukan hal seperti yang aku lakukan saat ini. Melainkan berangkat ke sekolah diantar orangtua mereka masing-masing. Sedangkan aku, pagi-pagi seperti ini, harus bangun pagi melawan rasa malas, pergi ke luar rumah, berada di sekitar kemacetan, dan bernyanyi sambil membawa gitar. Mengamen.
Terkadang terbersit rasa keinginanku untuk bisa melanjutkan sekolah di bangku SMP kelas sembilan. Tapi sayangnya, tak ada biaya untuk semua itu. Maklum, dua tahun silam kedua orangtuaku mengalami kecelakaan yang sangat tragis saat hendak berangkat ke tempat bekerjanya. Dulu kedua orangtuaku bekerja di salah satu orang terkaya di wilayahku, namanya bapak Suwandi. Karena pak Suwandi orang kaya, setiap bulannya kedua orangtuaku digaji sebesar lima juta perbulan. Dengan biaya yang lumayan besar itu, aku dapat bersekolah dan fasilitasku tercukupi. Tapi sayangnya, karena kedua orangtuaku mengalami kecelakaan hingga meninggal dunia, aku tak dapat melanjutkan sekolah. Putus di bangku SMP kelas tujuh. Karena itulah, aku harus memulai hidup mandiri, hidup apa adanya. Mengamen adalah hal yang hanya dapat aku lakukan pada saat itu dan sampai sekarang. Tak ada orang yang mau menerima aku untuk bekerja. Karena aku masih kecil. Sedangkan pak Suwandi, pindah ke luar kota. Sedangkan ayah dan ibuku tak mengetahui siapa saudaranya, karena dulu ayah dan ibuku sama-sama hidup di panti asuhan.
Setiap hari, aku tak pernah mengenal kata lelah disaat sedang mengamen. Aku jalani semua ini dengan penuh keikhlasan, agar semua yang aku dapatkan dapat menjadi suatu kenikmatan yang indah walau kenikmatan tersebut bersifat sederhana. Dari kecil aku selalu diajarkan oleh kedua orangtuaku untuk selalu mensyukuri nikmat yang diberikan oleh sang pencipta. Aku selalu mengingat-ingat pesan itu. Aku ingin menjadi anak yang menjadi kebanggaan kedua orangtuaku walaupun beliau sudah tiada. Aku menyakini bahwa ayah dan ibuku melihat apa yang semua aku lakukan ini, walau tak terlihat secara nyata.
Mengamen bukanlah hal yang mudah. Mungkin orang-orang di sekitar menganggap bahwa mengamen itu mudah. Sebenarnya tidak. Mengamen penuh tantangan. Salah satunya adalah ditangkap SATPOL PP (Satuan Polisi Pamong Praja) sudah hampir lima kali aku ditangkap oleh SATPOL PP, untung saja aku dapat melarikan diri. Jika tidak, entah apa yang terjadi pada diriku nanti setelah tertangkap SATPOL PP.
Aku melihat sekilas mobil Avanza berwarna putih berhenti tepat di samping sebuah toko yang rumayan besar. Kemudian sang pengemudi mobil turun bersama wanita yang tampaknya aku mengenali wanita tersebut. Dan ternyata… Bu Endang guru SDku dulu. Aku bergegas menghampirinya.
“Assalamu’alaikum, bu” Salamku ke bu Endang
“Wa’alaikum salam,” jawab beliau dengan sedikit ragu.
Aku tersenyum.
“Kamu siapa, nak? kok sepertinya ibu pernah mengenal kamu, nak?” Tanya bu Endang sambil terlihat mengingat-ingat.
“Siapa, ma?” tanya suaminya.
Bu Endah menggelengkan kepalanya.
“Saya Aldin, bu. Muridnya ibu sewaktu saya masih SD dulu” Kataku.
“Aldin?” Kata bu Endah
Aku menganggukkan kepala.
“O, Aldin yang waktu itu kelas tiga A itu, kan?” Kata bu Endah.
“Iya, bu”
“Lama tidak bertemu denganmu, nak. Bagaimana kabar kamu, nak?”
“Alhamdullilah, baik bu”
Bu Endah tersenyum.
“Tapi di jam sekolah seperti ini kok kamu ada disini? Kok nggak sekolah? Dan baju kamu…” Kata bu Endah dengan sedikit ragu.
“Saya sudah tidak sekolah, bu”
Bu Endah terkejut.
“Kenapa kok nggak sekolah? Kamu kan pandai, nak”
“Sudah tidak ada biaya untuk sekolah, bu. Dua tahun silam, ayah dan ibu saya kecelakaan. Dan kedua orangtua saya meninggal dunia. Sekarang saya hidup sendirian,”
Bu Endah melihatku dengan penuh rasa iba. Tiba-tiba ada anak laki-laki seusiaku memanggil bu Endah dari dalam mobil Avanza putih yang dinaiki bu Endah.
“Ma, ayo! Nanti telat”
“Iya. sebentar, nak. Aldin, bu Endah pergi dulu, ya. Nanti kalau ada waktu kita berbincang-bincang lagi.”
“Iya, bu”
Bu Endah langsung masuk ke dalam mobil bersama suaminya. Dan aku pun melanjutkan mengamenku. Saat mengamen, aku sangat senang menyayikan lagunya Melly Goeslow yang tentang sekolah. Sengaja aku menyayikan lagu itu. Karena agar lagu itu bisa menjadi kenyataan dalam hidupku. Kenyataan agar bisa sekolah lagi.
“Assalamu’alaikum, bu” Salamku ke bu Endang
“Wa’alaikum salam,” jawab beliau dengan sedikit ragu.
Aku tersenyum.
“Kamu siapa, nak? kok sepertinya ibu pernah mengenal kamu, nak?” Tanya bu Endang sambil terlihat mengingat-ingat.
“Siapa, ma?” tanya suaminya.
Bu Endah menggelengkan kepalanya.
“Saya Aldin, bu. Muridnya ibu sewaktu saya masih SD dulu” Kataku.
“Aldin?” Kata bu Endah
Aku menganggukkan kepala.
“O, Aldin yang waktu itu kelas tiga A itu, kan?” Kata bu Endah.
“Iya, bu”
“Lama tidak bertemu denganmu, nak. Bagaimana kabar kamu, nak?”
“Alhamdullilah, baik bu”
Bu Endah tersenyum.
“Tapi di jam sekolah seperti ini kok kamu ada disini? Kok nggak sekolah? Dan baju kamu…” Kata bu Endah dengan sedikit ragu.
“Saya sudah tidak sekolah, bu”
Bu Endah terkejut.
“Kenapa kok nggak sekolah? Kamu kan pandai, nak”
“Sudah tidak ada biaya untuk sekolah, bu. Dua tahun silam, ayah dan ibu saya kecelakaan. Dan kedua orangtua saya meninggal dunia. Sekarang saya hidup sendirian,”
Bu Endah melihatku dengan penuh rasa iba. Tiba-tiba ada anak laki-laki seusiaku memanggil bu Endah dari dalam mobil Avanza putih yang dinaiki bu Endah.
“Ma, ayo! Nanti telat”
“Iya. sebentar, nak. Aldin, bu Endah pergi dulu, ya. Nanti kalau ada waktu kita berbincang-bincang lagi.”
“Iya, bu”
Bu Endah langsung masuk ke dalam mobil bersama suaminya. Dan aku pun melanjutkan mengamenku. Saat mengamen, aku sangat senang menyayikan lagunya Melly Goeslow yang tentang sekolah. Sengaja aku menyayikan lagu itu. Karena agar lagu itu bisa menjadi kenyataan dalam hidupku. Kenyataan agar bisa sekolah lagi.
Pagiku cerahku matahari bersinar
Kugendong tas merahku di pundak
Selamat pagi semua ku nantikan dirimu
Di depan kelasku
Menantikan kamu
Guruku tersayang guru tercinta tanpamu apa jadinya aku
Tak bisa baca tulis mengerti banyak hal guruku terimakasihku
Nyatanya diriku kadang buat marah
Namun segala maaf kau berikan
Kugendong tas merahku di pundak
Selamat pagi semua ku nantikan dirimu
Di depan kelasku
Menantikan kamu
Guruku tersayang guru tercinta tanpamu apa jadinya aku
Tak bisa baca tulis mengerti banyak hal guruku terimakasihku
Nyatanya diriku kadang buat marah
Namun segala maaf kau berikan
Hari ini aku tak menghasilkan banyak uang. Hanya uang lima ribu yang dapat aku kantongi saat ini. Di jakarta uang lima ribu untuk membeli sebungkus nasi tak cukup. Uang lima ribu hanya bisa dibelikan roti. Dan roti itu pun besarnya tak seberapa. Kecil. Aku jadi ingat, dulu aku tidak sesusah payah ini untuk mendapatkan uang. Aku hanya minta ke ayah atau ibu dan langsung diberi begitu saja. Makanan yang enak-enak pun sudah tersaji di meja makan dibalik tudung saji. Tapi sekarang untuk makan sesuap nasi pun aku sangat kesulitan. Aku mulai menyadarinya, bahwa hidup itu tidak semudah yang aku bayangkan disaat kedua orang tuaku masih ada. Walaupun orangtuaku mendapat gaji lima juta perbulan, tapi itu penuh dengan kerja keras yang sangat luar biasa.
Hari sudah malam. Sesegera mungkin aku mencuci muka dan merebahkan badanku ke tempat tidur yang tersusun dari kardus-kardus bekas yang aku kumpulkan dari tempat-tempat sampah di tepi jalan. Maklum, aku sudah tak mempunyai tempat tinggal. Karena tak ada biaya untuk membayar kontrakan. Dulu sewaktu ayah dan ibu masih ada, aku tinggal di kontrakan yang tak jauh dari rumahnya bapak Suwandi. Aku rindu denganmu ayah, ibu…
Keesokkan harinya.
Bangun pagi, aku langsung membereskan susunan kardus-kardus yang aku gunakan untuk tidur semalam. Lalu aku simpan di semak-semak agar tak diambil oleh pemulung. Berulang kali kardus-kardusku diambil pemulung. Dan aku pun sangat kesusahan untuk mencari kardus penggantinya. Jadinya kardus-kardus itu aku simpan di semak-semak.
Lagi-lagi aku merasa iri dengan anak-anak seusiaku yang sedang berangkat ke sekolah. Aku ingin sekolah seperti mereka. Tapi itu tidak mungkin. Untuk biaya makan saja aku masih kesulitan apalagi biaya sekolah. Semoga saja ada malaikat tanpa sayap yang bisa membantuku untuk bisa melanjutkan sekolah.
Bangun pagi, aku langsung membereskan susunan kardus-kardus yang aku gunakan untuk tidur semalam. Lalu aku simpan di semak-semak agar tak diambil oleh pemulung. Berulang kali kardus-kardusku diambil pemulung. Dan aku pun sangat kesusahan untuk mencari kardus penggantinya. Jadinya kardus-kardus itu aku simpan di semak-semak.
Lagi-lagi aku merasa iri dengan anak-anak seusiaku yang sedang berangkat ke sekolah. Aku ingin sekolah seperti mereka. Tapi itu tidak mungkin. Untuk biaya makan saja aku masih kesulitan apalagi biaya sekolah. Semoga saja ada malaikat tanpa sayap yang bisa membantuku untuk bisa melanjutkan sekolah.
Tiba-tiba kepalaku terasa pusing. Ada apa denganku? Tak biasanya aku seperti ini.
Brekkkkk…
Gitarku terjatuh. Aku sudah merasa tidak kuat.
Brekkkkk…
Gitarku terjatuh. Aku sudah merasa tidak kuat.
Aku buka mataku perlahan. Tanpa aku sadari aku berada di ruangan serba putih. Semua orang berpakaian berwarna putih. Aku ada dimana? Apa aku ada di surga? Apa sekarang aku bisa berjumpa dengan ayah dan ibuku lagi? Tetapi aku mendengar seorang laki-laki berbaju putih itu berkata kepada dua orang yang berbaju putih juga.
“Anak ini tidak apa-apa pak, bu. Dia hanya kecapekan”
Siapa mereka?
“Dokter, sepertinya dia sudah sadar” Kata laki-laki berbaju putih itu.
Dokter?? Apa aku sedang ada di rumah sakit?
Ternyata benar. Aku ada di rumah sakit. Ditanganku terdapat selang infus. Lalu, kenapa aku bisa di rumah sakit?
“Iya. Sudah sadar. Baiklah, kalau begitu saya permisi dulu,” Kata Dokter
“Iya, dok” Kata kedua orang berbaju putih itu.
Kedua orang berbaju putih itu menghampiriku semakin dekat dan semakin dekat.
“Kalian siapa?” Tanyaku.
Mereka tersenyum.
“Saya pak Jaya. Dan ini istri saya ibu Ani,” Kata laki-laki berbaju putih dengan ramah sekali.
“Pak Jaya? Bu Ani? Saya tidak mengenal kalian sama sekali,”
“Benar, nak. Kamu tidak mengenal kami sama sekali. Sama dengan kami. Kami sendiri juga tidak mengenalimu, nak. Kami tadi melihatmu pingsan di tepi jalan lalu kami berdua membawa kamu ke rumah sakit” Kata bu Ani.
“Benarkah? Aku pinsan?”
Pak Jaya dan bu Ani menganggukkan kepala.
“Terimakasih sudah membawa saya ke rumah sakit,”
“Iya, nak. Sama-sama. Hmmm… Kalau boleh kami tahu nama kamu siapa, nak? Lalu kamu tinggal dimana? Dan orangtuamu siapa, nak?” Tanya pak Jaya.
“Nama saya Aldin. Saya tidak mempunyai tempat tinggal. Dan saya sudah tidak mempunyai orangtua. Kedua orangtua saya sudah meninggal dunia,”
“Lalu, gitar yang ada disampingmu disaat kamu pingsan itu gitar untuk apa, nak?” Tanya bu Ani.
“Itu gitar untuk saya mengamen,”
“Kamu pengamen, nak?” Tanya pak Jaya dengan sedikit ragu.
Aku mengangguk.
“Sebentar ya, nak” Kata Pak Jaya. Lalu pergi ke luar ruangan bersama bu Ani dan sekitar beberapa menit kemudian masuk ke dalam ruangan dan menghampiriku lagi.
“Nak Aldin, andai kata kalau kamu menjadi anak pak Jaya dan bu Ani kamu mau?” Kata pak Jaya.
Aku terkejut.
“Maksudnya jika aku mau, pak Jaya dan bu Ani akan menjadi orangtua baruku?” Kataku setengah tak yakin.
“Iya, nak” Jawab bu Ani.
“Kamu tidak akan sendirian, nak. Kami mempunyai satu anak perempuan tapi umurnya masih satu tahun. Bagaimana nak, kamu mau?” Kata pak Jaya.
“Dan tentunya kamu akan kami sekolahkan, nak” Lanjut bu Ani.
Aku mengangguk tanda aku mau.
“Anak ini tidak apa-apa pak, bu. Dia hanya kecapekan”
Siapa mereka?
“Dokter, sepertinya dia sudah sadar” Kata laki-laki berbaju putih itu.
Dokter?? Apa aku sedang ada di rumah sakit?
Ternyata benar. Aku ada di rumah sakit. Ditanganku terdapat selang infus. Lalu, kenapa aku bisa di rumah sakit?
“Iya. Sudah sadar. Baiklah, kalau begitu saya permisi dulu,” Kata Dokter
“Iya, dok” Kata kedua orang berbaju putih itu.
Kedua orang berbaju putih itu menghampiriku semakin dekat dan semakin dekat.
“Kalian siapa?” Tanyaku.
Mereka tersenyum.
“Saya pak Jaya. Dan ini istri saya ibu Ani,” Kata laki-laki berbaju putih dengan ramah sekali.
“Pak Jaya? Bu Ani? Saya tidak mengenal kalian sama sekali,”
“Benar, nak. Kamu tidak mengenal kami sama sekali. Sama dengan kami. Kami sendiri juga tidak mengenalimu, nak. Kami tadi melihatmu pingsan di tepi jalan lalu kami berdua membawa kamu ke rumah sakit” Kata bu Ani.
“Benarkah? Aku pinsan?”
Pak Jaya dan bu Ani menganggukkan kepala.
“Terimakasih sudah membawa saya ke rumah sakit,”
“Iya, nak. Sama-sama. Hmmm… Kalau boleh kami tahu nama kamu siapa, nak? Lalu kamu tinggal dimana? Dan orangtuamu siapa, nak?” Tanya pak Jaya.
“Nama saya Aldin. Saya tidak mempunyai tempat tinggal. Dan saya sudah tidak mempunyai orangtua. Kedua orangtua saya sudah meninggal dunia,”
“Lalu, gitar yang ada disampingmu disaat kamu pingsan itu gitar untuk apa, nak?” Tanya bu Ani.
“Itu gitar untuk saya mengamen,”
“Kamu pengamen, nak?” Tanya pak Jaya dengan sedikit ragu.
Aku mengangguk.
“Sebentar ya, nak” Kata Pak Jaya. Lalu pergi ke luar ruangan bersama bu Ani dan sekitar beberapa menit kemudian masuk ke dalam ruangan dan menghampiriku lagi.
“Nak Aldin, andai kata kalau kamu menjadi anak pak Jaya dan bu Ani kamu mau?” Kata pak Jaya.
Aku terkejut.
“Maksudnya jika aku mau, pak Jaya dan bu Ani akan menjadi orangtua baruku?” Kataku setengah tak yakin.
“Iya, nak” Jawab bu Ani.
“Kamu tidak akan sendirian, nak. Kami mempunyai satu anak perempuan tapi umurnya masih satu tahun. Bagaimana nak, kamu mau?” Kata pak Jaya.
“Dan tentunya kamu akan kami sekolahkan, nak” Lanjut bu Ani.
Aku mengangguk tanda aku mau.
Sungguh ini suatu kebahagian yang tak terduga. Aku mendapatkan orang tua baru pengganti ayah dan ibuku yang sudah meninggal dunia. Ditambah aku memiliki saudara baru. Dan aku dapat melanjutkan sekolah. Dan mungkinkah mereka dapat aku katakan sebagai malaikat tanpa sayap yang aku harapkan dari dulu? Terimakasih tuhan atas segala karuniamu yang telah kau berikan kepadaku.
Cerpen Karangan: Putri Permata Sari
Facebook: Putri Permata Sari
Facebook: Putri Permata Sari
SUMBER : http://cerpenmu.com/cerpen-kehidupan/aku-ingin-seperti-mereka-2.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar